Rabu, 30 April 2014

Kesehatan Mental


Ilmu Kesehatan Mental dan Objek Formalnya
Dikehidupan sehari-hari jika kita memperhatikan orang-orang maka banyak hal yang kita lihat. Ada orang yang kelihatannya gembira, bahagia,dapat bergaul dengan mudah walupun mereka menghadapi bermacam-macam kesulitan. Tapi sebaliknya ada juga yang kelihatannya sering mengeluh, frustasi, gelisah, delusi dikejar-kejar, ketakutan abnormal, kecemasan kronis, dan tidak dapat bergaul dengan baik. Karena perbedaan-perbedaan tersebut yang menyebabkan para psikolog berusaha menyelidiki apakah yang menyebabkan tingkah laku berbeda-beda walaupun orang-orang berada dalam kondisi yang sama.
Usaha ini merupakan wewenang dari salah satu cabang termuda psikologi, yaitu ilmu kesehatan mental (atau psikologi kesehatan mental). Perkembangan ilmu kesehatan mental beberapa tahun belakangan ini sudah sampai ke taraf preventif, yaitu mencari jalan pencegahan supaya orang jangan mengalami gangguan mental. Tema pokok yang menjadi objek penyeledikan ilmu kesehatan mental adalah penyesuaian diri (adjustment) dan kesehatan mental (mental health). Penyesuaian diri adalah salah satu istilah yang mengandung banyak arti dan terkadang artinya berbeda-beda untuk orang yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena penyesuaian diri itu rumit dan kualitasnya kadang-kadang baik kadang-kadang juga buruk. Kalau kualitas penyesuaian diri itu buruk, maka biasanya kita namakan ketidakmampuan menyesuaikan diri (malaadjustment).
Kesehatan mental merupakan bagian yang penting dari penyesuaian diri. Kepribadian adalah keseluruhan yang terintegrasi, dan tidak mungkin keharmonisan dalam salah satu bidang respons dapat dipertahankan jika tidak ada keharmonisan pada bidang-bidang lain. Karena itu, kesehatan mental dapat dianggap sebagai suatu fase khusus dari seluruh pola penyesuaian diri, dan hubungan kesehatan mental dengan segi-segi yang berbeda dari penyesuaian diri harus diselidiki secara seksama.
Definisi Ilmu Kesehatan Mental
Secara singkat ilmu kesehatan mental dapat dikatakan sebagai ilmu yang memperhatikan perawatan mental atau jiwa. Sama seperti ilmu pengetahuan yang lainnya, ilmu kesehatan mental mempunyai objek khusus untuk diteliti dan objek tersebut adalah manusia. Manusia dalam ilmu ini diteliti dari titik tolak keadaan atau kondisi mentalnya. Ilmu kesehatan mental merupakan terjemahan dari istilah mental hygiene. Mental (dari kata Latin: mens, mentis) berarti jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat, sedangkan hygiene (dari kata Yunani: hugiene) berarti ilmu tentang kesehatan. Mental hygiene sering juga disebut psikohygiene.Psyche (dari kata Yunani: psucho) berarti panas, asas kehidupan, hidup, jiwa, roh, sukma, semangat. Ada juga yang membedakan antara mental hygiene dan psikohygiene. Mental hygiene menitikberatkan kehidupan kerohanian, sedangkan psikohygiene menitikberatkan manusia sebagai totalitas psikofisik atau psikosomatik. Ada banyak definisi yang diberikan oleh para penulis terhadap ilmu kesehatan mental. Diantaranya seperti yang ada dibawah ini.
Alexander Schneiders mengatakan bahwa: “Ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang mengembangkan dan menerapkan seperangkap prinsip yang praktis dan bertujuan untuk mencapai dan memelihara kesejahteraan psikologis organisme manusia dan mencegah gangguan mental serta ketidakmampuan meyesuaikan diri” (Schneiders, 1965). Samson, Sin, dan Hofilena mendifinisikan ilmu kesehatan mental sebagai ilmu “yang bertujuan untuk menjaga dan memelihara fungsi-fungsi mental yang sehat dan mencegah ketidakmampuan menyesuaikan diri atau kegiatan-kegiatan mental yang kalut.” (Samson, Sin, & Hofilena, 1963). Howard Bernard menyatakan bahwa ilmu kesehatan mental adalah suatu program yang dipakai dan diikuti seseorang untuk mencapai penyesuaian diri (Bernard, 1957). D.B. Klein mengemukakan bahwa ilmu kesehatan mental itu adalah ilmu yang bertujuan untuk mencegah penyakit mental dan meningkatkan kesehatan mental (Klein, 1955). Louis P. Thorpe mengemukakan bahwa “ilmu kesehatan mental adalah tahap psikologi yang bertujuan untuk mencapai dan memelihara kesehatan mental” (Thorpe, 1960).
Dari berbagai definisi diatas ilmu kesehatan mental menunjukkan bahwa ilmu tersebut pertama-tama berbicara mengenai pemakaian dan penerapan seperangkap prinsip kesehatan yang bertujuan utnuk mencegah ketidakmampuan menyesuiakan diri serta meningkatkan kesehatan mental. Ilmu ini pada hakikatnya bersifat preventif dan tujuannya yang utama adalah untuk memelihara kesehatan dan efesiensi mental.
Pentingnya Ilmu Kesehatan Mental
Ilmu kesehatan mental menyentuh kehidupan manusia pada banyak hal yang sangat penting dan oleh karena itu ilmu kesehatan mental penting bagi setiap orang. Ilmu kesehatan mental sangat bernilai dalam membantu seseorang untuk memahami dirinya sendiri dengan lebih baik. Apabila ia meneliti dorongan-dorongan dasarnya, baik yang biologis maupun psikologis, maka ia akan memperoleh penjelasan-penjelasan mengenai beberpa tingkah lakunya. Kemudian jika ia menlangkah lebih jauh dan menyelidiki kegiatan-kegiatan alam tak sadarnya, maka ia segera menemukan penjelasan-penjelasan tentang beberapa tegangan yang terdapat dalam dirinya.
Apabila seseorang memahami dirinya sendiri dengan lebih baik dan juga menyadari dirinya berharga, maka ia lebih siap untuk menyelami perasaan-perasaan, emosi-emosi, dan motivasi-motivasi yang dimiliki oleh orang lain. Ia akan menyesuaikan cara hidupnya dengan sesamanya sehingga ia dapat hidup bersama dengan mereka secara harmonis.dari segi pandangan umum, prinsip-prinsip ilmu kesehatan mental penting sekali dalam persiapan untuk kehidupan keluarga dan profesional. Para perawat dan dokter akan menemukan banyak bahan yang digunakan secara praktis dalam menangani pasien mereka karena ilmu kesehatan mental memberikan mekanisme motivasi dan tingkah laku manusia.
Para orang tua dan guru yang bertindak menurut ilmu da menggunakan secara tepat prinsip-prinsipnya yang sehat dapat mengarahkan dan membimbing tingkah laku dan sikap para remaja pada waktu mereka berkembang melalui tahap-tahap kehidupan yang berbeda dalam perkembangan kehidupan kepribadian mereka. Studi tentang ilmu kesehatan mental ini dapat memberikan banyak cara preventif dan juga cara pengobatan yang akan membantu mengurangi banyak masalah sosial yang keompleks dan berat yag disebabkan oleh kenakalan/kejahatan, alkoholisme, dan ketidakmampuan menyesuaikan diri yang lain, baik yang ringan maupun yang berat.
Segi-segi Ilmu Kesehatan Mental
Ada banyak pendekatan untuk mempengaruhi peneysuaian diri manusia, dan dengan demikian akan meningkatkan kesehatan mental. Ada tiga cara pendekatan yang lazim digunakan, yaitu penedekatan preventif, pendekatan terapeutik, dan pendekatan kuratif yang dikenal sebagai psikiatri preventif.
Pendekatan preventif ilmu kesehatan mental adalah pendekatan yang pertama-tama berusaha mencegah gangguan-gangguan mental yang ringan dan yang dapat menimbulkan psikosis-psikosis yang sebenarnya. Pendekatan ini dilakukan dengan mengadakan pembinaan-pembinaan hubungan orang tua-anak yang sehat dan pengadaan lingkungan sekolah yang dapat menimbulkan perkembangan minat-minat dan kemampuan-kemampuan yang melekat pada diri anak. Ilmu kesehatan mental preventif bertolak dari prinsip yang mengemukakan bahwa cara yang paling baik untuk mengembangkan kepribadian yang dapat menyesuiakan diri dengan baik tidak lain adalah mengelilingi kepribadian tersebut dengan pengaruh-pengaruh lingkungan yang sehat sehingga dengan demikian kepribadian tesebut dapat mencapai kematangan emosional.
Ada beberapa siswa yang mendapat pendidikan awal di keluarga mereka dan belajar di beberapa sekolah yang sangat baik, namun pada suatu ketika karena suatu kejadian menimpa mereka maka mereka mejadi anak-anak nakal/jahat yang menimbulkan kesulitan-kesulitan tingkah laku. Ini adalah salah satu bidang dari segi terapeutik ilmu kesehatan mental – perbaikan ketidakmampuan meyesuaikan diri yang ringan dalam tingkah laku sehingga tidak berkembang menjadi hambatan-hambatan yang berat. Terapi-terapi perbaikan lain, seperti katarsis mungkin dianjurkan supaya orang itu melepaskan dirinya dari tegangan-tegangan yang terpendam sambil berusaha menemukan penyesuaian diri yang dibutuhkannya.
Pendekatan yang paling tua dan paling teknis terhadap masalah-masalah tingkah laku ialah pendekatan kuratif ilmu kesehatan mental. Segi ilmu kesehatan mental ini mencakup praktek-praktek yang dilakukan untuk menemukan dan memperbaiki ketidakmampuan menyesuiakan diri yang berat dan tidak memerlukan perawatan di rumah sakit.
Hubungan Ilmu Kesehatan Mental dan Disiplin-disiplin Lain
Ilmu kesehatan mental yang pertama-tama bertujuan untuk mencapai dan memelihara kesehatan mental merupakan gabungan dari banyak bidang disiplin. Di antara banyak bidang studi atau disiplin yang berkaitan erat dengan ilmu kesehatan mental adalah genetika, sosiologi, antropologi, psikiatri dan neurologi, psikologi, psikoanalisis, ilmu kedokteran psikosomatik (suatu cabang baru dari ilmu kedokteran), dan klinik psikiatri.
Genetika
Genetika adalah suatu cabang biologi yang menangani studi tentang hereditas-perpindahan sifat-sifat dari orang tua kepada keturunannya (anak-anak). Ada fakta yang menunjukkan hubungan yang erat antara pengaruh-pengaruh herediter dan beberapa tipe gangguan mental. Contohnya ada beberapa bentuk epilepsy dan gangguan-gangguan lain pada otak. Apabila hubungan kausal genetic diketahui, maka para ahli ilmu kesehatan mental dapat menghimbau agar tidak mengadakan perkawinan antara pasien penyakit epilepsy supaya mengurangi penyakit mental dan kelainan-kelainan mental lain yang mungkin terjadi pada generasi-generasi yang akan datang.
Sosiologi
Sosiologi adalah suatu ilmu yang menangani konstitusi, evolusi, dan gejala-gejala pada masyarakat manusia. Dalam mengungkap hubungan yang nyata antara sosiologi dan ilmu kesehatan mental, D.B. Klein mengatakan: “sekarang jelas bahwa kesehatan mental dari setiap warga Negara tidak dapat dipisahkan dari pengaruh-pengaruh social yang membantu membentuk kepribadiannya, dan ia harus beroperasi dengan atau menentang pengaruh-pengaruh tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. Ketergantungannya pada pengaruh-pengaruh ini begitu erat dan kokoh sehingga dalam pemikiran ilmu kesehatan mental ia tidak lagi dibenarkan kalau berkata bahwa jiwa yang sehat berada dalam tubuh yang sehat merupakan urusan individual semata-mata.” (Klein, 1955).
Juvenal mengatakan  jiwa yang sehat berada dalam tubuh yang sehat dan dalam masyarakat yang sehat. Bahkan dalam studi mengenai penyebab-penyebab kenakalan atau kejahatan yang merupakan masalah yang berat dalam ilmu kesehatan mental, factor-faktor lingkungan yang ditambahkan pada penyebab-penyebab psikologis memperlihatkan hubungan timbal balik antara kesehatan mental seseorang dan masyarakat tempat orang itu hidup.
Antropologi
Antropologi menyelidiki manusia primitive dan produk dari kebudayaannya dapat membantu ilmu kesehatan mnetal dalam usaha-usahanya untuk mengurangu terjadinya ketidakmampuan menyesuaikan diri individu. Suatu contoh dari bantuan yang diberikan oleh antropolog ialah pembedaan antropologis antara keluarga-keluarga patriarchal dan matriarchal. Hal itu dapat dipakai oleh ahli ilmu kesehatan mental untuk mengurangi konflik-konflik dalam keluarga-keluarga yang berbeda. Contoh lain apabila seseorang berhadapan dengan masalah penyesuaian diri dengan suatu kebudayaan asing, para antropolog memiliki data tertentu mengenai pengaruh-pengaruh pada perkembangan kepribadian jika seseorang dari latar belakang kebudayaan tertentu berhadapan dengan masalah seperti itu. Suatu bentuk biasa dari konflik-konflik kebudayaan yang demikian terdapat dalam kesulitan-kesulitan penyesuaian diri pasangan suami-istri yang memiliki latar belakang agama dan budaya yang sangat berbeda.
Psikiatri dan neurologi
Psikiatri adalah suatu cabang ilmu kedokteran yang menangani diagnosis dan perawatan gangguan-gangguan mental. Seorang psikiater disamping menjadi seorang dokter, ia juga memiliki latar belakang yang baik dalam psikologi, dan pertama-tama ia menangani tipe-tipe gangguan kepribadian yang lebih berat. Ia juga diminta pendapatnya dalam perkara-perkara pengadilan untuk menetapkan keadaan mental yang sebenarnya dari orang-orang yang berlagak mengalami mental tidak sehat (tidak waras) untuk menghindari hukuman berat dari tindakan pidana yang mereka lakukan.
Neurologi mencakup diagnosis dan perawatan kerusakan pada struktur otak dan bagian-bagian lain dari system saraf. Neurology lebih menekankan struktur dan lokasi kerusakan yang terjadi pada jaringan-jaringan otak. Penyelidikan-penyelidikan semacam itu biasanya mengungkapkan penyebab yang sebenarnya dari gangguan mental pasien.  Sering kali seorang dokter adalah seorang neurolog dan psikiater. Dengan demikian, neuropsikiater ini adalah seorang yang berpraktek medis dan berspesialisasi dalam gangguan-gangguan neurologis dan psikiatrik.
Orang yang bekerja sama secara erat dengan psikiater dan neurolog adalah perawat psikiatri. Sebagai seorang perawat yang lulus dari Perguruan Tinggi, ia memiliki spesialisasi dalam studi mengenai segi-segi mental dan emosional dari gangguan-gangguan kepribadian dan dilatih dalam merawat orang yang sakit mental. Seorang perawat psikiatri harus dapat melaksanakan program latihan psikiatri yang mengikuti tujuan pengobatan yang ditetapkan oleh neuropsikiater untuk pasien.
Psikologi
            Hampir semua bidang psikologi turut memberi sumbangan bagi usaha ilmu kesehatan mental. Psikologi anak yang menyelidiki anak dari masa prenatal sampai masa remaja memperkenalkan kondisi-kondisi yang berbeda dalam perkembangan emosi dan mental anak kepada para ahli ilmu kesehatan mental. Psikologi abnormal yang menangani penyimpangan-penyimpangan dalam tingkah laku manusia membantu memberikan wawasan kepada ahli ilmu kesehatan mental mengenai fakta tentang penyebab-penyebab dari gangguan kepribadian. Demikian juga psikologi pendidikan dapat memberikan pemahaman kepada para mahasiswa ilmu kesehatan mental mengenai pengaruh pengalaman-pengalaman sekolah terhadap kesehatan mental.
            Psikologi klinis, yang merupakan salah satu bentuk psikologi terapan berusaha menentukan kemampuan-kemampuan dan ciri-ciri khas seorang individu dengan menggunakan bermacam-macam metode pengukuran, analisis, dan observasi. Psikolog klinis adalah seorang spesialis yang mendapat pendidikan di Perguruan Tinggi dan memenuhi syarat untuk menguji dan menggunakan cara-cara psikoterapeutik bagi orang-orang yang memperlihatkan penyimpangan kepribadian. Ia juga terlatih dengan baik dalam menggunakan dan menginterpretasikan instrumen-instrumen tes psikologi: tes intelijensi dan tes bakat, tes kepribadian, teknik proyeksi (projective techniques).
Psikoanalisis
            Ini adalah konsep dari Freud yang memperlihatkan peran dan dorongan-dorongan tak sadar dan konflik-konflik batin manusia dalam menyebabkan bermacam-macam gangguan kepribadian. Penjelasan-penjelasan tentang kepribadian yang diutarakan oleh psikoanalisis mengemukakan bahwa kehidupan mental seorang individu khususnya cara-cara kerja alam tak sadar menjelaskan banyak segi tingkah lakunya. Dan apa yang dibuat seseorang terhadap dirinya dari masa bayi sampai masa dewasa sebagian besar tergantung pada kemampuannya untuk mengendalikan energy-energi psikis yang dimilikinya.
            Seorang psikoanalisis yang juga adalah seorang dokter menafsirkan kepribadian menurut konsep-konsep psikoanalitik. Ia menggunakan teknik-teknik asosiasi bebas dan analisis mimpi dalam merawat bermacam-macam kekalutan mental.
Ilmu Kedokteran Psikosomatik
            Ilmu kedokteran ini adalah salah satu cabang dari ilmu kedokteran yang mempelajari pengetahuan dan perawatan gangguan fisik dengan latar belakang psikogenik. Gangguan-gangguan psikosomatik ini disebut juga neurosis karena gangguan-gangguan dan kerusakan pada beberapa bagian tubuh disebabkan oleh kesulitan mental atau emosional.
Klinik Psikiatri
            Klinik tersebut teridiri dari staf yang meliputi dokter spesialis, psikologi klinis, pekerja social psikiatri, dan perawat-perawat psikiatri yang bekerja sama dalam menemukan sifat dan penyebab dari kekalutan-kekalutan kepribadian pasien dan membantunya supaya bisa sembuh kembali atau dapat menyesuaikan diri lagi.
            Tujuan dan fungsinya ialah: (1) memastikan penyebab dari kekalutan pasien dan berusaha melokalisasikan factor-faktor yang tampaknya menyebabkan ketidakmampuan menyesuaikan diri dari orang yang bersangkutan. Cara ini merupakan cara untuk menentukan etiologi atau penyebab penyakit; (2) memastikan sifat dari penyakit pasien; asal mula dan perkembangan serta sintom-sintom dari kekalutan tersebut diselidiki dengan berbagai metode dan teknik. Cara ini dikenal sebagai diagnosis; (3) menentukan arah dan hasil yang mungkin muncul dari kekalutan pasien. Berdasarkan sifat dan penyebab kekalutan tersebut, maka diadakan usaha untuk memastikan berapa lama penyakit itu akan bertahan, dan apakah pasien akan sembuh sama sekali, sebagian sembuh, atau tidak sembuh sama sekali. Cara ini disebut prognosis; (4) memilih cara-cara untuk memperbaiki kekalutan pasien dan membantunya supaya dapat mengadakan penyesuaian diri kembali secara adekuat. Perawatan dilakukan dengan memberi obat, kejutan (shock) listrik, pembedahan, psikoanalisis, analisis dengan wawancara, hipnoanalisis, dan re-edukasi.
Konsep Penyesuaian Diri
Arti Penyesuaian Diri
            Penyesuaian diri (adjustment) merupakan suatu istilah yang sangat sulit didefinisikan karena (1) penyesuaian diri mengandung banyak arti, (2) criteria untuk menilai penyesuaian diri tidak dapat dirumuskan secara jelas, dan (3) penyesuaian diri (adjustment) dan lawannya ketidakmampuan menyesuaikan diri (maladjustment) memiliki batas yang sama sehingga akan mengaburkan perbedaan diantara keduanya. Dengan demikian, apabila kita mau menghilangkan kekacauan atau salah pengertian mengenai apa itu penyesuaian diri, maka kita harus menjelaskan konsep-konsep dasarnya. Demikian juga halnya kalau kita mau memahami secara jelas tentang istilah-istilah yang berhubungan, seperti normalitas, abnormalitas, dan ketidakmampuan menyesuaikan diri.
            Ini adalah hal yang sangat penting dalam mempelajari penyesuaian diri manusia. Bukan macamnya tingkah laku yang menentukan apakah orang dapat menangani proses penyesuaian diri, tetapi cari bagaimana tingkah laku itu digunakan. Apakah tuntutan-tuntutan dari dalam atau stress-stres dari lingkungan dihadapi dengan berdoa, kenakalan/kejahatan, simtom-simtom neurotic dan psikotik, tertawa, gembira atau permusuhan, namun konsep penyesuaian diri dapat digunakan sejauh respons tersebut berfungsi untuk mereduksikan atau meringankan tuntutan-tuntutan yang dikenakan pada individu. Apabila respon-respon tersebut tidak efisien, merugikan kesejahteraan pribadi, atau patologik, maka respons-respons itu disebut respons-respons yang tidak mampu menyesuaikan diri (maladjustive).
Penyesuaian Diri sebagai Adaptasi
            Secara historis arti istilah “penyesuaian diri” sudah mengalami banyak perubahan. Karena kuatnya pengaruh pemikiran evolusi pada psikologi, maka penyesuaian diri disamakan dengan adaptasi, yaitu suatu proses di mana organism yang agak sederhana mematuhi tuntutan-tuntutan lingkungan.
Erich Fromm dalam bukunya, Escape from Freedom (Fromm, 1941) mengemukakan konsep adaptasi yang menarik dan berguna yang mendekati ide penyesuaian diri. Fromm membedakan apa yang dinamakannya adaptasi statis dan adaptasi dinamik. Ia menggunakan adaptasi statis untuk menyebut perubahan kebiasaan yang relative sederhana, misalnya orang berpindah dari satu kota ke kota lain. Sedangkan adaptasi dinamik adalah situasi di mana seseorang menerima hal-hal meskipun menyakitkan, misalnya seorang anak laki-laki tunduk kepada perintah-perintah ayah yang keras dan mengancam. Fromm menafsirkan neurosis sebagai respons dinamik, yaitu adaptasi yang sama dengan penyesuaian diri.
            Demikian juga halnya pengertian penyesuaian diri sebagai sikap mempertahankan diri atau kelangsungan hidup dipakai untuk kesejahteraan fisik, tetapi tidak dapat dipakai untuk penyesuaian diri dalam pengertian psikologis.
            Ide adaptasi mengacu pada konformitas dan sering kali ditekankan bahwa penyesuaian diri menghendaki konformitas terhadap norma tertentu  sehingga konsep tersebut jatuh pada masalah normalitas. Kita mengetahui bahwa ada tekanan-tekanan yang kuat terhadap orang-orang yang menyimpang dari larang-larangan social, moral, atau hokum, dan kita mengetahui bahwa antara norma-norma atau ukuran-ukuran yang ditetapkan masyarakat dan proses penyesuaian diri terdapat hubungan-hubungan tertentu yang telah ditetapkan. Tetapi kita tidak dapat menerima penyesuaian diri sama dengan konformitas.
Penyesuaian Diri dan Individualitas
            Dalam mendefinisikan penyesuaian diri kita tidak boleh melupakan perbedaan-perbedaan individual. Anak yang sangat cerdas atau genius tidak sesuai dengan pola “normal” baik dalam kapasitas maupun dalam tingkah lakunya, tetapi kita tidak dapat menyebutnya sebagai orang yang tidak dapat menyesuaikan diri.
            Norma-norma kelompoknya juga sangat berbeda-beda antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan lainnya, seperti yang diperlihatkan dengan sangat jelas oleh data dari antropologi budaya. Dalam bidang penyesuaian diri seksual, misalnya tabu-tabu dan kebiasaan-kebiasaan social sangat berbeda-beda pada setiap masyarakat sehingga konsep penyesuaian diri yang baik di bidang seksual mungkin dapat diterima di kebudayaan Barat namun sama sekali tidak dapat diterima dalam kebudayaan Indonesia.
Penyesuaian Diri sebagai Penguasaan
            Penyesuaian diri yang baik kelihatannya mengandung suatu tingkat penguasaan, yaittu kemampuan untuk merencanakan dan mengatur respons-respons pribadi sedemikian rupa sehingga konflik-konflik, kesulitan-kesulitan, dan frustasi-frustasi akan hilang dengan munculnya tingkah laku yang efisien atau yang menguasai. Istilah tersebut meliputi menguasai diri sendiri sehingga dorongan-dorongan, emosi-emosi, dan kebiasaan-kebiasaan dapat dikendalikan; juga berarti menguasai lingkungan, yaitu kemampuan untuk menangani kenyataan secara sehat dan adekuat dan menggunakan lingkungan orang-orang dan peristiwa-peristiwa dalam cara yang menyebabkan individu dadpat menyesuaikan diri. Seperti dikatakan oleh seorang penulis,”Apabila kebutuhan untuk menguasai adalah sama sekali atau untuk sebagian terbesar gagal dalam jangka waktu yang lama, maka individu pasti tidak dapat menyesuaikan diri” (Carroll, 1951).
            Kebanyakan orang tidak memiliki kemampuan yang dituntut oleh penguasaan itu. Pemimpin-pemimpin, orang-orang genius, dan orang-orang yang IQ-nya di atas rata-rata mungkin diharapkan memperlihatkan penguasaan yang luar biasa itu, tetapi meskipun demikian orang-orang ini pun sering mengalami kegagalan. Ini justru mengingatkan kita bahwa setiap orang memiliki tingkat penyesuaian dirinya sendiri, yang ditentukan oleh kapasitas-kapasitas bawaan, kecenderungan-kecenderungan yang diperoleh, dan pengalaman. Kegagalan dalam menyesuaikan diri sering kali ditentukan oleh hubungan antara kapasitas individu dalam menyesuaikan diri dan kualitas dari tuntutan-tuntutan yang dikenakan kepadanya.
 
Definisi Penyesuaian Diri
            Dari segi pandangan psikologi, penyesuaian diri memiliki banyak arti, seperti pemuasan kebutuhan, keterampilan dalam menangani frustasi dan konflik, ketenangan pikiran/jiwa, atau bahkan pembentukan simtom-simtom. Tyson menyebut hal-hal seperti kemampuan untuk beradaptasi, kemampuan berafeksi, kehidupan yang seimbang, kemamp-uan untuk mengambil keuntungan dari pengalaman, toleransi terhadap frustasi, humor, sikap yang tidak ekstrem, objektivitas, dan lain-lain (Tyson, 1951). Kita akan menemukan kualitas-kualitas lain ketika kita membicarakan criteria mengenai penyesuaian diri dan kesehatan mental. Kita juga menghadapi kesulitan karena penyesuaian diri itu sendiri tidak bisa dikatakan baik atau buruk. Hanya dapat dikatakan bahwa penyesuaian diri adalah cara individual atau khusus organism dalam bereaksi terhadap tuntutan-tuntutan dari dalam atau situasi-situasi dari luar.
            Karena penyesuaian diri itu sendiri tidak bisa dikatakan baik atau buruk, maka kita dapat mendefinisikannya dengan sangat sederhana, yaitu suatu proses yang melibatkan respons-respons mental dan tingkah laku yang menyebabkan individu berusaha menanggulangi kebutuhan-kebutuhan, tegangan-tegangan, frustasi-frustasi, dan konflik-konflik batin serta menyelaraskan tuntutan-tuntutan batin ini dengan tuntutan-tuntutan yang dikenakan kepadanya oleh dunia di mana ia hidup. Dalam arti ini, kebanyakan respons cocok dengan konsep penyesuaian diri.
 
Konsep Penyesuaian Diri yang Baik
            Orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik adalah orang yang memiliki respons-respons yang matang, efisien, memuaskan, dan sehat. Sebaliknya, orang yang neurotic adalah orang yang sangat tidak efisien dan tidak pernah menangani tugas-tugas secara lengkap. Kesehatan merupakan ciri yang sangat khas dalam penyesuaian diri yang baik.
            Singkatnya, meskipun memiliki kekurangan-kekurangan kepribadian, orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik dapat bereaksi secara efektif terhadap situasi-situasi yang berbeda, dapat memecahkan konflik-konflik, frustasi-frustasi, dan masalah-masalah tanpa menggunakan tingkah laku simtomatik. Karena itu, ia relative bebas dari sintom-sintom, seperti kecemasan, kronis, obsesi, atau gangguan-gangguan psikofisiologis (psikosomatik). Ia menciptakan dunia hubungan antarpribadi dan kepuasan-kepuasan yang ikut menyumbangkan kesinambungan pertumbuhan kepribadian.
 
Penyesuaian Diri adalah Relative
            Penyesuaian diri seperti yang telah dirumuskan di atas adalah relative karena tidak ada orang yang dapat menyesuaikan diri secara sempurna. Penyesuaian diri itu harus dinilai berdasarkan kapasitas individu untuk mengubah dan menanggulangi tuntutan-tuntutan yang dihadapi, dan kapasitas ini berbeda-beda menurut kepribadian dan tingkat perkembangan.
            Penyesuaian diri juga bersifat relative karena berbeda-berbeda menurut norma-norma social dan budaya serta individu itu sendiri berbeda-berbeda dalam bertingkah laku. Bahkan, orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik kadang-kadang merasa bahwa ia menghadapi situasi atau masalah yang melampaui kemampuannya untuk menyesuaikan diri. Sebaliknya, ketidakmampuan menyesuaikan diri adalah kelumpuhan yang akan menyebar dari salah satu bagian kepribadian ke bagian kepribadian lainnya.
 
Penyesuaian Diri versus Moralitas
            Pemakaian istilah “baik” dan “buruk” menempatkan seorang psikolog dalam ilmu kesehatan mental dalam posisi untuk membuat penilaian terhadap tingkah laku yang sebenarnya diharapkan tidak dilakukan oleh seorang ilmuwan. Kemampuan menyesuaikan diri tidak dapat disamakan dengan dosa (Mowrer, 1960). Tetapi sering kali terjadi bahwa imoralitas merupakan akar dari ketidakmampuan menyesuaikan diri dan sudah pasti penyesuaian yang sehat dalam pengertian yang sangat luas harus juga mencakup kesehatan moral.
            Tetapi jika ciri dari penyesuaian diri itu adalah baik, maka hal ini dipandang dari segi psikologi bukan dari segi moral atau etika. Sama seperti kesehatan fisik adalah sesuatu yang diinginkan oleh semua orang demikian juga kesehatan mental adalah baik bagi semua orang dan jelas juga bahwa ketidakstabilan mental, sintom-sintom neurotic atau psikopatik secara psikologis adalah buruk. Ketidakmampuan menyesuaikan diri pertama-tama adalah kejahatan psikologis dan secara moral bisa dikatakan jahat hanya jika responsnya yang bersifat moral dan bersifat psikologis jahat/buruk.
Kriteria Penyesuaian Diri
Kriteria dan Kodrat Penyesuaian Diri
            Kita telah melihat bahwa penyesuaian diri itu memiliki banyak kualitas yang berbeda, dan masing-masing kualitas dapat dipakai sebagai criteria untuk menilai dengan jelas penyesuaian diri. Seperti yang dikatakan oleh Levine bahwa “definisi mengenai normalitas dalam arti rata-rata harus dilengkapi dengan definisi normalitas dalam arti sehat, bahagia, berfungsi dengan baik matang. Definisi umum ini memerlukan penjelasan tambahan yang khusus. Definisi ini memerlukan sejumlah criteria terinci tentang kesehatan psikiatrik dan berfungsi dengan baik.” (King, 1951).
Erich Fromm maju selangkah lebih jauh lagi dan berkata bahwa konsep kesehatan mental memerlukan criteria universal. Ia mengatakan “berbicara mengenai masyarakat yang sehat mengandung asumsi yang berbeda dari relativisme sosiologis. Itu berarti jika kita berasumsi bahwa bisa ada suatu masyarakat yang tidak sehat, dan asumsi ini sebaliknya berarti bahwa ada criteria universal untuk kesehatan mental yang berlaku bagi bangsa manusia dan dengan demikian keadaan dari setiap masyarakat dapat dinilai. Pandangan tentang humanism normative bertolak dari beberapa asumsi dasar.” (Fromm, 1955).
Criteria penyesuaian diri dan kesehatan mental dapat didefinisikan sebagai ukuran-ukuran (norma-norma atau standar penilaian) yang digunakan untuk menentukan kualitas dan juga tingkat penyesuaian diri pribadi atau social bagi setiap individu. Apabila kita mengetahui ukuran-ukuran penyesuaian diri yang baik dan ukuran-ukuran kesehatan mental, maka kita dapat mengarahkan usaha-usaha kita dengan baik dan efektif pada waktu membantu orang lain. Juga criteria itu dapat dipakai sebagai sumber utama untuk mengembangkan prinsip-prinsip ilmu kesehatan mental dan konseling. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dan aplikasi klinis bersama-sama memajukan pengetahuan dan perawatan yang efektif terhadap masalah-masalah penyesuaian diri.
Kriteria Umum versus Kriteria Khusus Penyesuaian Diri
            Kita telah melihat bahwa penyesuaian diri pertama-tama adalah konformitas terhadap norma psikologis dan bukan terhadap norma moral, dan norma psikologis ini dapat dianggap sebagai criteria umum penyesuaian diri. Ini berarti respons-respons yang menyesuaikan diri dapat dinilai sehat atau tidak sehat dengan membandingkannya dengan apa yang dilakukan orang itu berkenaan dengan kodratnya dnegan orang lain.
            Jika kita sampai ke suatu titik di mana kita tidak dapat menilai dengan jelas contoh-contoh tingkah laku, maka kita harus menjelaskan implikasi-implikasi yang terkandung dalam criteria umum. Ini dapat dilakukan secara efektif dengan menentukan sejumlah criteria khusus yang berlaku bagi tingkah laku menyesuaikan diri. Misalnya, lebih mudah melihat apa sebabnya pemahaman (insight) penting bagi penyesuaian diri ketika kita menemukan bagaimana hubungannya dengan kesejahteraan psikologis. Pemahaman merupakan salah satu criteria yang kita gunakan.
            Ada banyak criteria yang serupa dengan pemahaman dan semuanya dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori: (1)criteria yang berkenaan dengan diri sendiri, (2) criteria yang berkrnaan dengan orang lain, dan (3) criteria yang berkenaan dengan pertumbuhan pribadi.
Kriteria yang Berkenaan dengan Diri Sendiri
            Kita mulai dengan pemahaman (insight) dan pengetahuan tentang diri sendiri (self-knowledge). Apa artinya criteria ini> criteria ini berarti bahwa kita harus mengetahui kapabilitas dan kekurangan diri kita sendiri apabila kita menangani secara efektif masalah-masalah penyesuaian diri. Pengetahuan tentang diri sendiri memerlukan perincian yang baik tentang kekuatan dan kelemahan kita sendiri.
            Pemahaman diri sendiri juga berarti kesadaran akan motivasi dasar dan pengaruh dari motivasi tersebut pada pemikiran dan tingkah laku. Pemahaman diri sendiri dapat menyadarkan kita bahwa kerap kali kita menyalahkan orang lain atas kekeliruan-kekeliruan dan kelemahan-kelemahan kita sendiri, atau perasaan sakit atau kepedihan kerap kali dijadikan alasan untuk bebas dari tanggung jawab. Karena kekurangan akan pemahaman itu, ornag akan mencari-cari kesalahan orang lain, merasionalisasikan tingkah laku yang tidak adekuat, atau mengadakan mekanisme pertahanan diri, dan semuanya ini berbahaya bagi penyesuaian diri yang baik.
            Pengetahuan diri sendiri dapat menyebabkan “objektivitas” dan akhirnya “penerimaan diri sendiri”, dua kualitas tambahan yang dipakai untuk menilai penyesuaian diri. Seperti dikatakan Allport dengan sangat singkat: “integrasi, bagi orang yang neurotic atau bagi orang yang normal, memerlukan self-objectification. Hal ini berarti bahwa integrasi memerlukan pemahaman, pengetahuan tentang nilai-nilai, suatu gambaran jelas tentang kekuatan-kekuatan dan kekurangan-kekurangan diri sendiri. Psikoterapi dan agama sependapat mengenai hal ini.” (Allport, 1950). Pengetahuan dan objektivitas adalah lawan mampu menyesuaikan diri.
            Objektivitas merupakan langkah yang penting untuk menerima diri sendiri, suatu kualitas penyesuaian diri yang dianggap sebagai sesuatu yang hakiki bagi pertumbuhan pribadi. Penerimaan diri adalah lawan dari pengasingan diri dan penurunan martabat diri sendiri yang sering ditemukan pada pasien neurotic. Menerima diri sendiri pada dasarnya merupakan langkah pertama menuju perbaikan diri.
            Criteria lain penyesuaian diri yang baik adalah pengendalian diri sendiri yang berarti orang mengatur impuls-impuls, pikiran-pikiran, kebiasaan-kebiasaan, emosi-emosi, dan tingkah laku berkaitan dengan prinsip-prinsip yang dikenakan pada diri sendiri atau tuntutan-tuntutan yang dikenakan oleh masyarakat. Dnegan demikian, individu kompulsif, histris atau obsesif, atau orang yang menjadi korban dari kekhawatiran, sifat yang terlalu berhati-hati, ledakan amarah, kebiasaan gugup, merasa sulit atau tidak mungkin menanggulangi dengan baik tugas-tugas dan masalah-masalah sehari-hari.
            Pengendalian diri sendiri adalah dasar bagi integrasi pribadi yang merupakan salah satu kualitas yang penting dari orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik dan salah satu standar peniliaian yang paling baik dalam menentukan tingkat penyesuaian diri. Pengendalian diri adalah organisasi dari banyak unsure kepribadian yang berbeda menjadi kesatuan yang erat dan totalitas yang berfungsi secara efisien. Integrasi menghalangi konflik-konflik emosional yang kacau dan yang menganggu pasien neurotic dan fungsi-fungsi otonom dari orang yang histeris.
            Dalam mengembangkan pengendalian dan integrasi, pembentukan “kebiasaan-kebiasaan yang bermanfaat” adalah penting karena banyak penyesuaian diri individu pada setiap saat diakibatkan oleh tingkah laku menurut kebiasaan (habitual behavior) dan biasanya penyesuaian diri yang baik tidak dapat dirusak oleh system-sistem kebiasaan yang tidak efisien atau tidak sempurna. Kebiasaan-kebiasaan yang berharga sangat penting untuk efisiensi fisik dan mental, dan efisiensi itu sendiri sangat dibutuhkan bagi penyesuaian diri.
            “ilmu kesehatan mental telah didefinisikan sebagai suatu cara hidup; dan cara hidup seseorang ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan yang telah dibentuk. Apabila orang ingin mengendalikan kehidupannya yang sangat penting untuk kesehatan mental, maka ia harus membentuk dan membentuk kembali kebiasaan-kebiasaan yang merupakan bagian yang begitu besar dari kehidupan sehari-hari” (Bernard, 1957).
            Seperti telah dijelaskan berkali-kali, penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamik yang hampir selalu membutuhkan perubahan dan adaptasi dan dengan demikian semakin tetap dan tidak berubah respons-respons itu, maka semakin sulit juga menangani tuntutan-tuntutan yang berubah.
 
Kriteria yang Berkenaan dengan Orang Lain
            Beberapa criteria yang dapat digunakan untuk menilai penyesuaian diri langsung berkaitan dengan hubungan seseorang dengan orang lain, dan salah satu criteria yang sangat penting adalah perasaan tanggung jawab.
            Orang dewasa yang tidak bertanggung jawab adalah orang yang tidak matang dan tingkah lakunya kekanak-kanakan terhadap apa yang diharapkan daripadanya, dan ini merupakan tanda penyesuaian diri yang tidak adekuat. Tanggung jawab adalah bagian yang sangat penting dari kematangan dan juga sangat penting bagi penyesuaian diri.
            Penyesuaian diri yang baik memerlukan kematangan dalam setiap bagian tingkah laku manusia, termasuk bidang social, emosional, moral, dan agama. Jika terjadu kegagalan atau cacat pada salah satu bidang tersebut, maka mungkin akan terjadi ketidakmampuan menyesuaikan diri.
            Kalau berbicara mengenai hubungan-hubungan social, maka penyesuaian diri yang baik menuntut supaya kita dapat bergaul dengan orang lain, yang merupakan hakikat dari penyesuaian diri social. Bergaul dengan orang lain berarti mengembangkan hubungan yang sehat dan ramah, senang bersahabat dengan orang lain, menghargai hak, pendapat, dan kepribadian orang lain, dan terutama sangat menghargai integritas pribadi dan nilai sesama manusia.
 
Kriteria yang Berkenaan dengan Pertumbuhan Pribadi
            Setiap langkah dalam proses pertumbuhan dari masa bayi sampai masa dewasa harus menjadi kemajuan tertentu kearah kematangannya yang lebih besar dalam pikiran, emosi, sikap, dan tingkah laku. Pertumbuhan kepribadian ditingkatkan oleh banyaknya minat terhadap pekerjaan dan kegemaran. Minat yang sehat menghasilkan penyesuaian diri yang sehat.
            Kegiatan-kegiatan dalam pekerjaan dan kegemaran harus juga memberikan pengalaman-pengalaman yang memuaskan. Sudah barang tentu bahwa dimana ada minat, maka disitu akan terdapat kepuasan.
Pertumbuhan pribadi tergantung juga pada skala nilai yang adekuat dan tujuan yang ditetapkan dengan baik, criteria yang selalu dapat digunakan seseorang untuk menilai penyesuaian diri. Skala nilai atau filsafat hidup adalah seperangkat ide, kebenaran, keyakinan, dan prinsip yang membimbing seseorang dalam berpikir, bersikap, dan dalam hubungan dengan diri sendiri dan orang lain dalam memandang kenyataan dan dalam tingkah laku social, moral, dan agama. Penyesuaian diri memerlukan penanganan yang efektif terhadap masalah dan stress yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari, dan pemecahan masalah dan stress itu akan ditentukan oleh nilai-nilai yang kita bawa berkenaan dengan situasi itu.
Dalam proses pematangan, perkembangan suatu system nilai akan meliputi juga pembentukan tujuan jangka pendek dan jangka panjang yang menjadi inti dari integrasi dan tingkah laku menyesuaikan diri. Orang yang memiliki tujuan-tujuan yang ditetapkan dengan baik bertindak secara terarah dan bertujuan, meskipun kadang-kadang terganggu oleh kehilangan arah, kebosanan, kekurangan minat dan dorongan.       
Criteria terakhir untuk menilai penyesuaian diri adalah sikap terhadap kenyataan. Penyesuaian diri yang baik memerlukan sikap yang sehat dan realistis yang menyanggupi seseorang untuk menerima kenyataan sebagaimana adanya bukan sebagaimana diharapkan atau diinginkan. Sikap yang sehat terhadap masa lampau, masa sekarang, dan masa depan sangat penting untuk penyesuaian diri yang sehat.
Sejauh mana criteria ini dipenuhi mungkin hasil akhirnya adalah kepribadian yang sehat dan dapat menyesuaikan diri dengan baik, yang bebas dari respons-respons dan sintom-sintom yang melumpuhkan, yang merupakan ciri khas dari kepribadian yang tidak adekuat, tidap dapat menyesuaikan diri, atau neurotic.
 
Konsep Kesehatan Mental
Arti Kesehatan Mental
Kesehatan mental merupakan kondisi yang sangat dibutuhkan untuk penyesuaian diri yang baik, dan demikian juga sebaliknya. Apabila seseorang bermental sehat, maka sedikit kemungkinan ia akan mengalami ketidakmampuan menyesuaikan diri yang berat. Kita dapat berkata bahwa kesehatan mental adalah kunci untuk penyesuaian diri yang sehat (Scott, 1961).
Jangkauan dari pengertian penyesuaian diri adalah lebih luas daripada kesehatan mental. Seseorang mungkin dalam bidang pekerjaan tidak dapat menyesuaikan diri, meskipun demikian ia bermental sehat. Tetapi apabila kesulitan-kesulitan di bidang pekerjaan menyebabkan seseorang mengalami fristasi, ketidakbahagiaan, kebencian, atau delusi dikejar-kejar (delusion of persecution), maka terjadilah masalah kesehatan mental.
Reaksi-reaksi seperti suka membantah, kecewa dan sikap bermusuhan adalah sintom-sintom mental dari konflik-konflik dan frustasi-frustasi yang sangat dalam, sama halnya juga dengan otot yang sakit, kelelahan, atau sakit kepala merupakan tanda dari suatu infeksi. Dapat dikatakan secara sederhana bahwa kesehatan mental berarti bebas dari sintom-sintom yang melumpuhkan dan menganggu, yang merusak efisiensi mental, kestabilan emosi, atau ketengan pikiran.
 
Kesehatan Mental dan Efisiensi Mental
            Konsep kesehatan mental berhubungan erat dengan efisiensi mental, dan kadang-kadang kedua konsep tersebut disamakan. Sudah pasti kesehatan dalam bentuk apapun merupakan dasar untuk efisiensi, dan Jones melihat efisiensi sebagai salah satu di antara ketiga sesi kesehatan mental dan normalitas (kedua segi yang lain adalah kebahagiaan dan adaptasi terhadap kenyataan). Tetapi, konsep efisiensi mempunyai arti sendiri, yakni penggunaan kapasitas-kapasitas untuk mencapai hasil sebaik mungkin dalam keadaan yang ada pada waktu itu. Efisiensi mental adalah penggunaan kapasitas-kapasitas kita secara efektif untuk mengamati, membayangkan, belajar, berpikir, memilih, dan juga mengembangkan terus-menerus fungsi-fungsi mental sampai ke suatu tingkat efisiensi yang lebih tinggi.
            Dapat dilihat efisiensi mental berhubungan erat dengan kesehatan mental sama seperti efisiensi fisik dengan kesehatan fisik. Sama seperti halnya seorang anak kecil yang sakit tidak dapat bermain atau belajar dengan baik, demikian juga orang yang mendapat gangguan mental tidak dapat mengamati, berpikir, atau belajar secara efektif.
 
Definisi Kesehatan Mental
            Kesehatan mental adalah terhindarnya individu dari sintom-sintom neurosis dan psikosis. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan masyarakat dimana ia hidup. Untuk dapat menyesuaikan dirinya sebagaimana adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Di sampung itu, orang harus berusaha mengenal, memahami, dan menilai orang lain secara objektif.
            Menurut definisi ini, orang yang bermental sehat adalah orang yang dapat menguasai segala factor dalam hidupnya sehingga ia dapat mengatasi kekalutan mental sebagai akibat dari tekanan-tekanan perasaan dan hal-hal yang menimbulkan frustasi.
            Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala kapasitas, kreativitas, energy, dan dorongan yang ada semaksimal mungkin sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain serta terhindar dari gangguan atau penyakit mental (neurosis dan psikosis). Dalam definisi ini, gambaran tentang kodrat manusia adalah optimistic dan penuh harapan.
            Menurut Dr. Estefania Aldaba Lim (1956), psikologi klinis yang terkemuka Filipina, kesehatan mental itu tidak bisa didefinisikan secara sederhana, tetapi harus menyangkut berbagai mavam hal. Dalam pandangannya, kesehatan mental adalah (1) Bukan penyesuaian diri dalam semua keadaan karena ada banyak keadaan di mana seseorang sebaiknya tidak menyesuaikan diri dengannya sebab kalau tidak demikian, maka ada kemungkinan ia tidak akan mencapai kemajuan; (2) bukan bebas dari kecemasan dan ketegangan karena kecemasan dan ketegangan sering kali merupakan persyaratan dan akibat yang ditumbulkan oleh kreativitas; (3) Bukan bebas dari ketidakpuasan karena ketidakpuasan yang realistic membuktikan adanya kemajuan; (4) Bukan konformitas karena salah satu kriteria untuk kematangan adalah kemampuan untuk berada terpisah dari masyarakat apabila keadaan menuntutnya; ciri kesehatan mental adalah kebebasan yang realtif dan prasangka-prasangka budaya dan pribadi; (5) Bukan berkurangnya prestasi dan kreativitas karena ciri kesehatan mental adalah kemampuan individu untuk menggunakan tanaganya dengan sepenuh-penuhnya; (6) Bukan tidak adanya tabiat-tabiat pribadi yang aneh karena banyak tabiat yang aneh seperti itu yang tidak menganggu fungsi tubuh yang normal, memperkaya kehidupan individu dan orang-orang yang berhubungan dengannya; (7) Kesehatan melemahkan kekuasaan karena ciri kesehatan mental adalah meningkatnya kemampuan individu untuk menggunakan dan menghargai kekuasaan yang realistic sambil mengurangi penggunaan kekuasaan sebagai suatu kekuasaan yang menekan dan yang hanya dipakai untuk memuaskan kebutuhan pribadi individu; (8) Bukan bertentangan dengan nilai-nilai agama karena kesehatan mental memudahkan dan melengkapi tujuan-tujuan agama.
            Kesehatan mental tidak hanya jiwa yang sehat berada dalam tubuh yang sehat (mens sana in corpora sano), tetapi juga suatu keadaan yang berhubungan erat dengan seluruh eksistensi manusia. Itulah suatu keadaan kepribadian yang bercirikan kemampuan seseorang untuk menghadapi kenyataan dan untuk berfungsi secara efektif dalam suatu masyarakat yang dinamik.
Kriteria Kesehatan Mental
            Alexander A. Schneiders dalam bukunya yang berjudul Personality Dynamics and Mental Health, mengemukakan beberaoa kriteria yang sangat penting dan dapat digunakan untuk menilai kesehatan mental. Kriteria tersebut dapat diuraikan sebagai berikut (Schneiders, 1965).
 
Efisiensi Mental
Dari apa yang telah dibicarakan tentang hubungan antara kesehatan mental dan efisiensi mental, jelas bahwa efisiensi dapat digunakan untuk menilai kesehatan mental. Tentu saja kepribadian yang mengalami gangguan emosional, neurotic, atau tidak adekuat sama sekali tidak memiliki kualitas ini.
 
Pengendalian dan Integrasi Pikiran dan Tingkah Laku
Pengendalian yang efektif selalu merupakan salah satu tanda yang sangat pasti dari kepribadian yang sehat. Hal yang juga penting bagi kesehatan mental adalah integrasi pikiran dan tingkah laku, suatu kualitas yang biasanya diidentifikasikan sebagai integritas pribadi. Pembohong yang patologik, psikopat, dan penipu mengalami kekurangan dalm integritas pribadi dan sering kali cirinya adalag bermental patologik.
 
Integritas Motif-Motif serta Pengendalian Konflik dan Frustasi
Dapat dilihat bahwa kemampuan untuk mengintegrasikan motivasi-motivasi pribadi dan tetap mengendalikan konflik-konflik dan frustasi-frustasi sama pentingnya dengan integrasi pikiran dan tingkah laku. Konflik yang hebat bisa muncul apabila motif-motif tidak terintegrasi. Kecenderungan-kecenderungan yang bertentangan ini harus diintegrasikan antara satu dengan yang lainnya jika konflik-konflik dan frustasi-frustasi itu dikendalikan.
 
Perasaan-Perasaan dan Emosi-Emosi yang Positif dan Sehat
Integrasi yang dibutuhkan bagi kesehatan mental dapat ditunjang oleh perasaan-perasaan positif dan demikian juga sebaliknya perasaan-perasaan negative dapat menganggu atau bahkan merusak kestabilan emosi. Perasaan-perasaan tidak aman yang dalam, tidak adekuat, bersalah, rendah diri, bermusuhan, benci, cemburu, dan iri hati adalah tanda-tanda gangguan emosi dan dapat menyebabkan mental tidak sehat. Sebaliknya, perasaan-perasaan diterima, cinta, memiliki, aman, dan harga diri masing-masing memberi sumbangan pada kestabilan mental dan dilihat sebagai tanda kesehatan mental.
 
Ketenangan atau Kedamaian Pikiran
Banyak criteria penyesuaian diri dan kesehatan mental berorientasi kepada ketenangan pikiran/mental, yang sering kali disinggung dalam pembicaraan mengenai kesehatan mental. Apabila ada keharmonisan emosi, perasaan positif, pengendalian pikiran dan tingkah laku, integrasi motif-motif maka akan muncul ketengan mental.
 
Sikap-Sikap yang Sehat
Sikap-sikap mempunyai kesamaan dengan perasaan-perasaan dalam hubungannya dengan kesehatan mental. Dalam perjumpaan kita dengan kepribadian-kepribadian yang tidak dapat menyesuaikan diri atau kalut, kita selalu teringat betap pentingnya mempertahankan pandangan yang sehat terhadap hidup, orang-orang, pekerjaan, atau kenyataan. Tidak mungkin kesehatan mental terjadi dalam konteks kebencian dan prasangka, pesimisme dan sinisme, atau keputusasaan dan kehilangan harapan.
 
Konsep Diri (self-concept) yang Sehat
Seseorang harus mempertahankan orientasi yang sehat keapada kenyataan objektif, demikian juga ia harus berpikir sehat tentang dirinya sendiri. Perasaan-perasaan diri yang tidak adekuat, tidak berdaya, rendah diri, tidak aman, atau tidak berharga akan mengurangi konsep-diri yang adekuat. Kondisi ini akan mengganggu hubungan antara diri sendiri dan kenyataan sehingga akan menjadi lebih sukit menemukan criteria lain dalam kesehatan mental.
 
Identitas Ego yang Adekuat
Menurut White, “identitas ego adalah diri atau orang di mana ia merasa menjadi dirinya sendiri” (White, 1952). Pada beberapa orang, identitas  ego rupanya tidak tumbuh menjadi stabil karena mereka mendekati masa remaja atau masa dewasa, melainkan akan terjadi fiksasi-fiksasi pada tingkat-tingkat perkembangan yang tidak matang atau regresi pada cara-cara bertingkah laku yang lebih awal, serta akan terhambat kemampuan untuk bertindak secara efektif. Menurut White, “apabila identitas ego tumbuh menjadi stabil atau otonom, maka orang tersebut akan mampu bertingkah laku lebih konsisten dan bertahan lama terhadap lingkungannya. Semakin ia yakin akan kodrat dan sifat-sifat yang khas dari dirinya sendiri, maka semakin kuat juga inti yang menjadi sumber kegiatannya” (White, 1952).
 
Hubungan yang Adekuat dengan Kenyataan
Dalam berbicara tentang criteria penyesuaian diri, kita mengenal salah satu criteria, yakni orientasi yang adekuat pada kenyataan. Orientasi mengacu secara khusus pada sikap seseorang terhadap kenyataan, sedangkan kontak mengacu pada cara bagaimana atau sejauh mana seseorang menerima kenyataan-menolaknya atau melarikan diri daripadanya. Dengan demikian, seseorang yang etrlalu menekankan masa lampau adalah orang yang tidak berorientasi kepada kenyataan, sedangkan seseorang yang menggantikan kenyataan dengan fantasi/khayalan adalah irang yang telah menolak kenyataan. Hal yang penting disini adalah baik penyesuaian diri maupun kesehatan mental membutuhkan hubungan yang sehat dengan dunia benda-benda, orang-orang, dan peristiwa-peristiwa di mana seseorang mengadakan kontak setiap hari.
 
Normalitas dan Abnormalitas
            Dilihat dari setiap segi pandangan. Konsep normalitas-abnormalitas adalah konsep yang bersifat relatif. Penyimpangan dari norma apa pun yang diterima seorang mungkin begitu kecil atau mungkin begitu mencolok sehingga kelihatan jelas sifat abnormalnya. Tetapi karena tidak ada dikotomi yang tegas, maka normalitas dan abnormalitas sulit dibedakan.
            Kebanyakan orang menerima bahwa penyesuaian diri yang baik sangat serupa dengan normalitas dan ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan abnormalitas. Konsep-konsep ini berhubungan erat, tetapi artinya berbeda. Untuk mengetahui lebih jelas kedua istilah tersebut, alangkah baiknya kalau dikemukakan di sini berbagai segi pandangan mengenai kedua pilihan tersebut.
 
Gambaran Statistik tentang Normalitas dan Abnormalitas
            Normal secara harfiah berarti “konformitas” dengan suatu norma atau ukuran. Norma atau ukuran itu kerap kali berarti rata-rata dalam istilah statistik. Misalnya , tinggi normal pria Indonesia adalah rata-rata 160cm. abnormal dalam arti ini adalah penyimpangan jauh dari rata-rata. Salah satu tugas dari statistic adalah mencari suatu angka di sekitar mana nilai-nilai dalam suatu distribusi memusat. Angka yang menjadi pusat suatu distribusi disebut “tendensi sentral”.          
            Konsep statistik tentang dapat juga diterapkan pada tingkat laku manusia dan penyesuaian diri, tetapi hasilya kadang-kadang mengejutkan dan membingungkan. Misalnya, menurut keterangan statistic, anak laki-laki “rata-rata” telah melakukan mastrubasi pada usia 15 tahun dan dari sini disimpulkan baha kebiasaan tersebut adalah normal. Kemudian lebih membingungkan lagi kalau ditarik kesimupulan bahwa apa saja yang normal adalah hal yang kodrati dan mengemukakan bahwa tingkah laku normal dalam pandangan statistic harus diterima tanpa memperhatikan cacat sosial atau moralnya. Pendekatan statistik sudah pasti dapat dipercaya dan berguna apabila yang diukur adalah factor-faktor yang jelas sperti berat dan tinggi serta intelegensi tetapi dari segi pandangan penyesuain diri, kesulitan dalam konsep “normal” dalam pandangan statistik ialah norma tersebut diturunkan dari apakah manusia itu atau apakah yang dilakukannya dan bukan dari criteria untuk tingkah laku adekuat. Mungkin dalam pandangan statistik adalah normal kalau suami istri bertengkar, tetapi dari pandangan psikologi adalah jelek.
 
Normalitas dan Abnormalitas Menurut Norma Budaya dan Norma Pribadi
            dari segi pandangan budaya, tingkah laku dan sikap hidup seseorang dianggap normal atau abnormal tergantung pada lingkungan sosial (budaya) tempat ia tinggal. Masyarakat merupakan pengawas (hakim) yang keras dan kejam terhadap tingkah laku para anggotanya dan tidak membiarkan penyimpangan-penyimpangan tingkah laku dari adat-istiadat atau norma umum yang sudah ada. Kebebasan dalam batas yang rasional dari anggotanya bisa diberikan agar ia dapat mengungkapkan dirinya dengan bebas. Tetapi, penyimpangan radikal yang menyebabkan kekacauan pada individu dan orang-orang di sekitarnya sangat dikecam. Orang yang demikian dianggap sebagai pribadi yang abnormal.
            Kalau normalitas dan abnornamlitas dikaitkan dengan pandangan budaya, maka akibatnya ialah adat kebiasaan dan norma-norma hidup yang dianggap normal oleh kelompok lain. Misalnya, dalam beberapa budaya halusinasi merupakan petunjuk adanya skizofrenia dan individu yang berhalusinasi akan dirawat di rumah sakit. Tetapi dalam budaya-budaya lain, halusinasi dilihat sebagai suara dewa dan individu-individu yang berhalusinasi diangkat menjadi imam (Murphy, 1976). Dengan demikian dari segi pandangan budaya, abnormalitas didefinisikan menurut norma-norma budaya, dan hak-hak dari individu diabaikan. Tetapi, normalitas juga ditentukan oleh ukuran/norma pribadi. Bila tingkah laku didasarkan pada nomr pribadi, maka perhatia dipusatkan pada (1) kesukaran (kesulitan) yang dihadapi individu (individu dikatan abnormal bila ia cemas, tertekan, tidak puas, atau sangat kalut); (2) disabilitas individu (individu dikatakan abnormal bila ia tidak dapat berfungsi secara personal, sosial, fisiologis, dan okupasional). Apa yang dikemukana diatas menunjukkan kesulitan, disabilitas, dan penyimpangan dapat berperan dalam mendefinisikan tingkah laku abnormal. Kita harus tetap fleksibel berkenaan dengan criteria yang digunakan dalam menentukan apakah individu tertentu itu abnormal atau tidak.
            Terkadang norma personal dan norma cultural bertentangan. Bisa terjadi norma cultural digunakan dan hak-hak dari individu diabaikan. Misalnya, kasus homoesksualitas (di Amerika Serikat). Praktek homoseksualitas menyimpang dari norma cultural, tetapi kemudian muncul satu pertanyaan: apakah kita berhak menyebut orang-orang homoseksual itu disebut “abnormal”, tetapi pada tahun 1980 di Amerika Serikat hal tersebut dipertimbangkan lagi oleh panel para ahli dalam  Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders  yang memutuskan tingkah laku seperti apakah yang akan didaftar, dan mereka telah memutuskan bahwa homoseksualitas bukan gangguan mental, kecual individu tidak merasa terganggu bahagia terhadap preferensi seksualnya. Denga tidak mengabaikan norma kultrual dan norma personal sepertin yang dikemukakan di atas, tingkah laku abnormal mungkin dapat didefinisikan sebagai tingkah laku yang menyulitkan atau melumpuhkan pribadi orang itu sendiri atau secara kultural begitu menyimpang sehingga orang lain menilai tingkah laku itu tidak tepat atau maladaptif.
 
Normalitas dan Abnormalitas Menurut Patologis
            Dipandang dari segi patologik, seseorang dikatakan normal kalau ia bebas dari sintom-sintom penyakit. Sebaliknya ia dikatakan abnormal kalau tingkah lakunya menunjukkan simtom-simtom gangguan penyakit tertentu. Misalnya, ada banyak unsur-unsur ketakutan dan kecemasan kronis yang tidak beralasan pada pasien psikoneurotik; simtom-simtom ilusi, delusi, dan halusinasi pada pasien psikotik. Tetapi, ada sejumlah contoh ketidakmampuan menyesuaikan diri yang biasa dan tidak patologik, dan itu tidak dapat menjadi ciri abnormalitas. Misalnya, membaca, bolos sekolah, tidak taa, dan agresi termasuk kategori tidak mampu menyesuaikan diri tetapi tidak dianggap abnormal menurut pengertian penyakit fisik atau penyakit mental. Di lain pihak, tidak semua abnormalitas dianggap patologik, misalnya tingkah laku eksentrik.
 
Pandangan Psikologi tentang Normalitas dan Abnormalitas
            agar dapat menggunakan kinsep normalitas kita harus mengemukakan norma atau ukuran yang tidak mengizinkan adanya pengecualian-pengecualian. Kita mengetahui bahwa penyesuaian diri yang baik diinginkan dan ketidakmampuan menyesuaikan diri tidak diinginkan. Penyesuain diri yang baik adalah tipe respons yang sesuai dengan kodrat atau kapasitas manusia, yang memajukan hubungan yang sehat dengan sesame manusia. Tingkah laku itu adalah sehat, memuaskan, dan matang. Masing-masing kualitas ini berasal dari kodrat manusia dan hubunganya dengan kenyataan. Inilah yang kita maksudkan jika kita menyebut seseorang itu normal. Ukuran ini bersifat psikologis dan bukan bersifat statistik, moral, individual, atau patologik, dan respon-respons itu normal dan adjustif. Tetapi, ada banyak respons yang merugikan kepribadian atau hubungan antarpribadi manusia, dan respons-respons ini adalah abnormal dan maladjustif.